Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Dimuat di Harian Solopos (Solo), 29 Mei 2005.
MAJALAH US News & World Report (12/91988) pernah mewartakan kecemasan berat yang diidap komedian Richard Lewis. Saat itu ia ditanya oleh temannya : apa yang ia kerjakan bila harta karun yang ia miliki, yaitu naskah-naskah komedi yang ia tulis selama 16 tahun terakhir, terbakar bersama rumahnya. Dengan ketakutan. Lewis segera bergegas menuju kantor bank terdekat di Beverly Hills, lalu menyewa safe deposit, untuk mengamankan lebih dari 250.000 judul lelucon karyanya.
Tidak setiap komedian seperti Richard Lewis yang begitu cermat dan memiliki perhatian yang tinggi terhadap karya-karya tertulis komedinya. Di Indonesia pernah terbetik kabar bahwa naskah pemanggungan lawakan Srimulat yang ditulis almarhum Teguh Srimulat, telah hilang.
Bahkan kabar angin yang berhembus kemudian mewartakan bahwa ada kelompok lawak tertentu yang (saat itu lagi ngetop di televisi) diduga menjiplak naskah milik kelompok lawak Srimulat yang hilang tersebut. Kontroversi ini sepertinya belum tuntas sampai saat ini, tetapi fakta tersebut menandakan bahwa naskah komedi merupakan komoditas yang tetap saja langka dan sangat dicari di negeri ini.
Sayang, pemahaman mengenai pentingnya naskah komedi tersebut terlalu lama tidak terangkat ke permukaan. Bahkan, sekadar contoh, di balik hiruk pikuk acara reality show di stasiun televisi swasta TPI yang mengadakan seleksi kelompok lawak bertajuk Audisi Pelawak TPI (API), isu penting itu tidak gencar mengemuka.
Disebutkan, Audisi Pelawak TPI merupakan ajang unjuk prestasi bagi grup pelawak muda berpotensi yang belum mendapat kesempatan unjuk kemampuan berkompetisi menjadi grup lawak terbaik. Di sisi lain, kehadiran pelawak-pelawak baru di layar kaca dirasakan menjadi salah satu kebutuhan saat ini, karena kondisi obyektif saat ini menunjukkan kehadiran pelawak yang sama dalam satu malam pada berbagai stasiun televisi yang berbeda.
Dengan demikian API diharapkan mampu menghadirkan pelawak-pelawak baru berkualitas, sehingga menambah panjang daftar pelawak-pelawak di tanah air.
DEMIKIANLAH, KITA CATAT betapa kebutuhan adanya naskah-naskah komedi dan penulis-penulisnya sekaligus, seolah dianggap bukan hal yang mendesak. Hal itu bisa dimaklumi karena acara seperti API tak lain merupakan program me too, program berbau ikut-ikutan dari reality show yang lebih dulu terkenal seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) atau pun Indonesia Idol.
Kedua program kontes untuk menemukan bintang-bintang baru dalam kegiatan tarik suara tersebut telah dicontek mentah-mentah oleh para konseptor acara TPI, yaitu hanya mengganti subjek atau pelakunya, yang semula calon penyanyi digantikan para calon pelawak. Mereka melupakan bahwa sebenarnya antara nyanyian atau lagu dengan lawakan terdapat perbedaan yang mencolok, walau pun keduanya dapat sama–sama dipanggungkan di layar televisi.
SENYATANYA DUNIA KOMEDI tidak sama dengan dunia tarik suara. Dunia komedi memiliki tuntutan yang jauh lebih keras. Sebab dalam dunia tarik suara sebuah lagu dapat dan halal secara mudah diulang-ulang, untuk dinyanyikan oleh beragam penyanyi, dalam pelbagai kesempatan. Tetapi lawakan tidak. Kalau Anda melucukan sesuatu, mungkin di antara kawan-kawan ada yang menyeletuk bahwa ia sudah pernah mendengarnya. Dalam dunia menyanyi, bakal tak ada penonton yang berteriak melarang seseorang menyanyikan sesuatu lagu karena lagu tersebut pernah didengarnya.
Realitas ini menandakan bahwa tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan, membuatnya terasa semakin langka dalam peredaran. Apalagi materi lawakan baru ketika begitu tampil di media akan langsung menjadi usang. Faktanya, tidak hanya materi lawakan spesifik tersebut, juga premisnya, bahkan semua lawakan yang mirip juga ikut menjadi usang karenanya.
Tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan tersebut membuat banyak kelompok lawak kita tidak punya nafas panjang. “Membuat lucuan yang benar-benar lucu saja setengah mati. Kondisi lawak di Indonesia saat ini : ia adalah pemikir, penulis, penampil, sekaligus pengurus keuangan....Bagaimana mau selalu prima ?”, cetus almarhum Dono Warkop (1996) ketika mengeluhkan tiadanya penulis –penulis naskah komedi yang dapat meringankan bebannya.
KELUHAN KRONIS DONO tersebut bisa dimaklumi, apalagi karena komedi memang seni yang rumit. Edmund Gwenn, aktor komedi Hollywood era 1940-an saat menjelang ajalnya berbisik kepada aktor Hollywood terkenal lainnya, Jack Lemmon, bahwa menuju kematian itu menyakitkan, tetapi tidak sebegitu menyakitkan dibandingkan berpentas sebagai komedian.
Sementara itu Gene Perret, pemenang tiga Emmy Award dalam penulisan naskah komedi yang sekaligus penulis lawakan komedian Bob Hope yang terkenal, menyatakan bahawa penulisan naskah komedi ibarat jazz dalam musik Selain harus inovatif, sarat pemberontakan, ketimbang berlaku normal. Bahkan cenderung menghancurkan tradisi yang ada ketimbang membebeknya.
Walau pun demikian, imbuh Perret, penulisan naskah komedi dapat dipelajari. Menjadi komedian juga dapat dipelajari. Kalau kita sudi melebarkan wawasan terhadap dunia komedi di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, tidak sedikit ditemui pelbagai workshop untuk calon komedian dan workshop pelatihan bagi penulis naskah-naskah komedi.
UNTUK PERKEMBANGAN MASA DEPAN DUNIA KOMEDI KITA, apalagi setelah hadirnya organisasi PASKI (Persatuan Artis Seni Komedi Indionesia), diharapkan kontes semacam API di TPI haruslah dibarengi dengan kegiatan yang bermenukan intelektualitas. Misalnya dengan menyelenggarakan workshop penulisan naskah komedi sampai kiat-kiat menjadi komedian.
Karena kita telah lama kehilangan intelektual humor sekaliber almarhum Arwah Setiawan, sementara tokoh lainnya seperti Arswendo Atmowiloto atau pun Jaya Suprana ketika menjadi pencela (kritikus) di ajang API justru nampak terbawa arus, maka untuk membuka wawasan yang lebih luas sudah saatnya bila didatangkan pembicara dari luar negeri.
Upaya pembelajaran yang lebih serius dan komprehensif dalam komunitas dunia komedi kita yang selama ini sangat terbengkalai, bahkan selama puluhan tahun ini, menunggu segera untuk direalisasikan !
*Bambang Haryanto, penulis komedi dan dua buku kumpulan humor. Alumnus UI.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment