Thursday, May 26, 2005

Menikmati Humor Prof. Sarlito W. Sarwono (2)

(Menelisik disonansi kognitif dalam sitkom Friends)

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



TAWA MENYENTUH KALBU. Pasangan kumpul kebo Ross (David Schwimmer) dan Rachel (Jennifer Aniston) dalam sitkom Friends yang terkenal sedang dikisahkan mencari pembantu rumah tangga. Tentu saja untuk mengasuh putrinya, Emma, yang masih berusia balita.

Ada seorang kandidat kuat, seorang wanita yang nampak sabar, keibuan dan berlatar belakang keturunan Hispanik. Dalam wawancara nampak ada kimia kecocokan antara ketiganya.

Tetapi ketika wawancara usai dan si wanita itu hendak pulang, terjadilah adegan tanya jawab di depan pintu. Wanita itu bertanya dalam nada cemas, apakah di keluarga ini sering ada tes penggunaan narkoba secara mendadak. Kalau ada, ia mengharap, dirinya memperoleh pemberitahuan tersebut tiga hari sebelumnya. Tentu saja, kandidat nanny yang satu ini segera mereka coret dari daftar nominasi.

Sejurus kemudian bel pintu apartemen Ross dan Rachel berbunyi. Kata Ross, calon pembantu satu ini yang ia sebut dengan “she” bernama Sandy. Berpengalaman tiga tahun dan memiliki latar belakang early childhood education, pendidikan usia dini yang cocok untuk mengasuh Emma. Ketika pintu dibuka, yang segera terlihat di hadapan mata Ross dan Rachel adalah sosok yang tak terduga-duga sebelumnya.

Hi, nama saya Sandy”.
Ia seorang pria muda dan tampan.


Dalam menit-menit pertama, sitkom Friends telah menghasilkan kejutan demi kejutan. Tentu saja pula ledakan tawa. Bahkan berlanjut ketika ditunjukkan bahwa Sandy (Freddie Prinze Jr.) yang pengasuh bayi pria itu memang andal dan penuh kasih sayang yang tak kalah dari nature seorang wanita. Rachel yang sering digambarkan sebagai wanita yang mudah terharu, terenyuh dengan kebaikan, serta merta menyukai Emma diasuh olehnya.

Sementara Ross yang nampak luarnya berlagak macho, merasa aneh. Ia merasa tidak sreg di rumahnya ada pengasuh bayi pria yang sensitif, mudah menangis dalam haru, terampil merajut, pandai mengasuh Emma, baik mendongeng dengan boneka atau menina bobo Emma dengan tiupan recorder lagu “Greenfield” yang menawan. Juga pintar memasak kue. Terlebih lagi Sandy juga disukai pula oleh teman-teman mereka. Bahkan mengajak Joey Tribiani (Matt Le Blanc) dan Rachel untuk memainkan recorder melantunkan lagu anak-anak “Three Blind Mice” yang menampilkan suasana ceria.


DISONANSI KOGNITIF. Hal-hal kurang lajim dari nanny pria ini dalam sepanjang cerita memang menghasilkan tawa demi tawa. Tawa yang muncul adalah tawa yang menyentuh kalbu-kalbu kita. Karena kita bisa berempati dengan sosok Sandy, betapa pria pun dapat menampilkan sisi-sisi feminin yang ia miliki secara tulus dan apa adanya.

Jelasnya, tawa yang kita hadirkan bukan tawa yang murahan. Misalnya karena karena ulah badut-badutan. Tidak ada itu. Jauh pula dari stereotip bahwa dalam lawakan sisi feminitas seseorang pria selalu identik dengan penampilan sissy atau kebanci-bancian yang memang masih suka dieksploitasi dalam pemanggungan lawak di televisi-televisi kita.

Kejadian-kejadian tidak normal tersebut dalam bahasa Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito W. Sarwono, dapat digolongkan dalam apa yang beliau sebut sebagai Disonansi Kognitif. Dalam email (8/5/2005) yang dikirimkan kepada saya, antara lain beliau telah menulis :


Mas Bambang,

Tulisan anda tentang Komedi Indonesia sangat betul. Jadi pelawak memang harus cerdas, karena kunci lucu cuma satu, yaitu penonton tiba-tiba dihadapkan kepada sesuatu hal yang bertentangan dengan apa yang mereka ketahui selama ini.

Dalam Psikologi, itu namanya Disonansi Kognitif. Contoh, penyanyi sepuh ber-blangkon dan lurik, tiba-tiba menyanyi "Love Me Tender" dengan suara dan gaya Elvis Presley (selalu ada di Srimulat jaman dulu dan selalu memancing tawa).


SEMBUNYIKAN KEJUTAN. Disonansi kognitif memang berpotensi menimbulkan kejutan, dan itulah nyawa dari pementasan lawakan. Sebab pementasan komedi senyatanya merupakan mata rantai kejutan demi kejutan. Tanpa unsur dadakan, kejutan atau surprise, gelak tawa yang memuncak tak bakal meledak dari sana. Untuk meraih momen puncak tawa tersebut, Gene Perret, penulis kepala untuk komedian sohor Bob Hope, telah menulis formulanya :

Hide the joke whenever possible. Get some surprise into the punchline. Don’t let the audience see it coming. Sembunyikan lelucon Anda semampu mungkin. Hadirkan dadakan saat kata pukulan itu diledakkan. Jangan sampai penonton tahu kedatangannya.

Dalam bahasa sehari-hari, disonansi kognitif itu mungkin dapat pula diartikan sebagai reversal, kebalikan. Ronald Wolfe dalam bukunya Writing Comedy : A Guide to Scriptwriting for TV, Radio, Film and Stage (1992), menulis bahwa : kebalikan dari hal-hal yang normal terjadi, yang muncul secara tak terduga, akan menghasilkan ledakan tawa.

Wolfe pun bermurah hati memberikan contoh :

“Istriku dan diriku telah bersepakat untuk bercerai, tetapi anak-anaklah yang membuat kita masih bersama. Aku tidak menginginkan anak-anak tersebut dan istriku juga tidak menginginkannya pula !”


Saya yakin, Prof. Sarlito akan terbahak dengan lelucon disonansi kognitif yang cerdas ini. Bagaimana dengan Anda ?


Wonogiri, 26 Mei 2005

No comments:

Post a Comment