Wednesday, May 11, 2005

Menikmati Humor Prof. Sarlito W. Sarwono (1)

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


AWAS : ANDA SAKIT PERUT !. “Mas Bambang, tulisan Anda tentang Komedi Indonesia sangat betul. Jadi pelawak memang harus cerdas, karena kunci lucu cuma satu, yaitu penonton tiba-tiba dihadapkan kepada sesuatu hal yang bertentangan dengan apa yang mereka ketahui selama ini. Dalam Psikologi itu, namanya Disonansi Kognitif. Contoh, penyanyi sepuh ber-blangkon dan lurik, tiba-tiba menyanyi "Love Me Tender" dengan suara dan gaya Elvis Presley (selalu ada di Srimulat jaman dulu dan selalu memancing tawa)”

Itulah pembuka email dari Prof. Sarlito, yang dalam bahasa gaul mahasiswa dan koleganya akrab dipanggil dengan Mas Ito. Email yang terkirim sejak dua hari sebelumnya itu saya terima tanggal 10/5/2005. Isinya menyenangkan. Juga mengejutkan.

Kejutan pertama, saya tidak menyangka bahwa ketika (8/5/2005) memberitahukan kepada alumni kontes Mandom Resolution Award (MRA) 2004 (termasuk jurinya) bahwa saya telah membangun situs blog baru, Komedikus Erektus ! ini, begitu cepat mendapatkan tanggapan dari guru besar Fakultas Psikologi UI yang saya kenal ketika kami bertemu dalam ajang MRA 2004.

Kejutan kedua, saya tidak ikut bertanggung jawab bila Anda nanti kena sakit perut ketika menikmati lanjutan isi email yang berisi lawakan beliau seperti berikut ini :

“Atau kalau Petruk meledek Bagong : "Lambene Bagong melambe-lambe".
Lambe (Jawa) dipautkan dengan Lambai (Indonesia), jadi pas dan lucu.

Atau plesetan-plesetan yang suka saya pakai di ceramah-ceramah dan tidak pernah basi:

Puskesmas = Pusing Keseleo dan Masuk Angin
MBA = Memble Aje. Mengingat banyaknya sarjana/S2 yang nganggur
PS (Play Station) = Permainan Sex. Remaja pamit mau main PS, tapi nggak taunya main PS yang lain”


PLESETAN DESCARTES. Sama-sama alumni Universitas Indonesia, tetapi saya mengenal secara pribadi Mas Ito baru pada ajang MRA 2004, di Hotel Borobudur, Jakarta, November 2004. Beliau menjadi ketua dewan juri, sementara juri yang lain adalah Tika Bisono dan Maria Hartiningsih. Saya adalah salah satu dari 20 finalis dan kemudian beruntung menjadi salah satu dari 10 pemenang MRA 2004 tersebut.

FLASHBACK : Ketika di depan ketiga juri MRA 2004 tersebut saya sempat meledek sendiri slogan Epistoholik Indonesia (EI), yaitu komunitas jaringan kaum pencandu menulis surat-surat pembaca ke media massa yang saya dirikan dan resolusinya saya ikutkan dalam MRA 2004 ini. Slogan EI itu diilhami ucapan filsuf dan matematikawan Perancis terkenal, Rene Descartes (1596–1650), yaitu Cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. Sementara slogan EI berbunyi, Episto ergo sum. Saya menulis surat pembaca maka saya ada.

Saya pun nyeletuk : “Kalau slogan Cogito ergo sum diciptakan orang dari Perancis, maka slogan Episto ergo sum diciptakan orang dari Praci” Saya menikmati saat melihat Mas Ito tergelak. Malah ia menimpali : “Pracimantoro ?” Ah, itu hanya guyon rekayasa. Daerah ini memang termasuk Kabupaten Wonogiri. Tetapi saya tidak tinggal di Praci, melainkan utaranya Praci, di Wonogiri. Berstatus sebagai penduduk WNA, Wonogiri Asli !

Seusai perhelatan MRA 2004, saya pun menulis pengalaman suka-duka mengikuti kontes tersebut dalam situs blog Esai Epistoholica (No.14 dan 15). Mas Ito rupanya berkenan membaca-baca dan memberi komentar :

“Mas Bambang, waah...asyik juga baca blog-nya. Rupanya banyak sekali anekdote yang bisa Anda rekam, yang kalau dibiarkan akan hilang ditelan bayu, dan tidak akan menambah khasanah KM (Knowledge Management) kita.”.


KASET SEKS. Tetapi anekdot saya itu jelas belum sekaliber leluconnya Mas Ito. Lelucon itu pernah saya dengar dari sebuah kaset di tahun 1984, saat saya menjadi asisten di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Saya menjadi asisten untuk mata kuliah Teknologi Media.

Kampus saya dan kampusnya Mas Ito yang masih di Rawamangun itu hanya sepelemparan batu jauhnya. Tetapi saya hanya mengenal Mas Ito dari pelbagai media massa. Ia seorang akademisi yang terkenal. Hanya lewat sebuah kaset itulah saat itu telah terbukakan diri saya untuk mengenal pikiran-pikiran beliau, dan yang paling penting, lawakan-lawakan beliau.

Tentu, lawakan akademisi tidak sama dengan lawakan di panggung API. Kaset itu berisi ceramah Mas Ito untuk mahasiswa Sastra UI, yang saya kopi dari Lab Bahasa FSUI. Bukan pula kaset lawakan. Topiknya adalah pendidikan seks. Topik serius, apalagi beliau adalah anggota Asosiasi Seksologi Indonesia. Tetapi ternyata tawa audiens jelas terekam saling susul-menyusul. “Kalau organ seks laki-laki, penampilannya lebih sederhana”, begitu salah satu paparan Mas Ito. Ledakan tawa audiens terdengar sangat bergemuruh !

Apa rahasia di balik ledakan tawa itu ? Gene Perret, kepala penulis lawakannya Bob Hope, menulis bahwa sense of humor itu menyangkut tiga keterampilan : (1) to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya, (2) to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya, dan (3) to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.

Ujaran Mas Ito tentang konfigurasi organ seks pria di depan mahasiswa- mahasiswi FSUI tadi, mencocoki dengan ketiga rumusan Perret tentang sense of humor tersebut Harap Anda catat bahwa saat itu Mas Ito sedang tidak melucu. Beliau yang pernah berkuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia, hingga saya curiga kegemaran Mas Ito “melawak” itu gara-gara ketularan virus pelawak-pelawak dalam acara tahunan Festival Lawak Antarbangsa di Edinburgh yang terkenal itu, semata-mata mengemukakan suatu realitas. Tetapi karena realitas tersebut dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, mereka pun serempak meledak dalam tawa.


MENJAUHI PREMIS KEBENARAN. Formula fondamen lawakan tersebut sayangnya belum difahami oleh banyak pelawak-pelawak kita. Juga para pembuat sitkom-sitkom kita. Contoh : seorang pelawak pernah berkata : “Politik”, katanya, “adalah gabungan antara kata poli yang berarti banyak, dan tik yang berarti itik. Jadi politik definisinya adalah hal-hal yang banyak dan riuh bersuara seperti itik”.

Definisi tersebut, walau ditujukan untuk melawak, berakar dari premis yang cacat, hasil rekayasa dan tidak berlandaskan kebenaran. Audiens sulit merunut logikanya, sulit mengaitkan dengan pengalaman mereka sendiri, sehingga semakin sulit terpancing untuk tergelak.

Tetapi premis-premis cacat itu lebih mewabah dalam produk komedi situasi kita. Mungkin karena terimbas tempaan kultur gerakan berbohong secara nasional, lihatlah pelbagai komedi situasi yang muncul berparade di televisi kita. Isinya tuyul-tuyulan, jin-jinan, siluman-silumanan, ajaib-ajaiban, konyol-konyolan yang cenderung merendahkan kecerdasan. Terutama sekali makin menjauh dari premis-premis kebenaran. Menjauh dari melihat sesuatu apa adanya, memahami/mengerti sesuatu apa adanya dan menerima sesuatu secara apa adanya pula.


BUTUH SARAN AHLI. Insan-insan komedi Indonesia sudah saatnya diajak kembali ke khittah, bahwa nilai melawak yang luhur muncul bila kita berani menertawai diri sendiri. Dengan sikap rendah hati, mungkin akan mudah tergerak untuk menyetrum diri dengan energi-energi kreatif baru. Penghibur dan mantan wartawan Kompas, Sujiwo Tejo, pernah mengusulkan agar insan-insan komedi kita sudi minta penataran dari pelbagai ahli. Baik ahli psikologi sampai ahli bahasa, demi meningkatkan kualitas personel dan sajian komedi mereka di televisi. Mungkin Prof. Sarlito memiliki saran dan kritik bagi komunitas komedi Indonesia ?

Oh ya, seputar formula Disonansi Kognitif yang diajukan Mas Ito, saya punya cerita kecil. Sebagai epistoholik, saya pernah menulis surat pembaca di harian Kompas edisi Jawa Tengah (20/8/2004) tentang kasus pembelian tiket pertandingan olahraga di mana setiap pengunjung memperoleh bonus satu bungkus rokok. Itulah kelucuan konyol khas bangsa ini : kegiatan untuk mempromosikan pentingnya kesehatan tetapi disponsori oleh produk yang berbahaya bagi kesehatan.

Potret Disonansi Kognitif yang lebih parah saya tulis di koran yang sama (18/9/2004) : Tanggal 19/8/2004, Presiden kita (Megawati) mengunjungi pasukan TNI-Polri yang bertugas di Aceh, di lembah Aloe Gintong, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar.

Kepada para prajurit, seperti dilaporkan Kompas (20/8/04 :1), Presiden berpesan : Jaga kesehatanmu (!) dan berhati-hatilah dalam bertempur. Berita yang sama dimuat di Solopos (20/8/04 :2) bertajuk : Di Aceh, Presiden bagikan rokok kepada prajurit.

Sambil menunggu saran atau kritik dari Mas Ito, kini saya sajikan bagian akhir dari email beliau.

Kuis analogi : Apa hubungannya Taman Mini, Metro Mini dan Rok Mini? Dalam Taman Mini ada Metro Mini, dalam Metro Mini ada Rok Mini, dalam Rok Mini ada Taman Mini .

Bila kelak menjadi stand-up comedian, merangkap sebagai bujangan yang taat aturan A (abstinence) atau berpantang seks dari formula ABC-nya pencegahan HIV/AIDS, terus terang saya belum berani memanggungkan kuis lawakan Mas Ito yang di atas tadi.

Saya takut tak kuat terhadap godaan panorama “taman mini yang memang melambai-lambai lambe itu”.



Wonogiri, 11 Mei 2005


Catatan : Email dari Prof. Sarlito yang karena saking menariknya telah begitu saja saya jadikan artikel di atas. Beberapa hari kemudian, saya baru sadar, bahwa mungkin saya telah melakukan tindakan tak etis. Yaitu memuat tulisan seseorang tanpa meminta ijin yang bersangkutan terlebih dahulu.

Merasa cemas-cemas harap, Senin sore (23/5/2005) saya mengirimkan SMS kepada Mas Ito :

Yth Mas Ito, humor “Taman Mini” Anda saking melambai-lambai lambe, langsung saya sosor jadi artikel di blog saya, tanpa minta ijin Mas Ito. Moga Mas Ito tidak keberatan. Thx. BH.

Sekejap muncul balasan beliau : ...Hahaha...Ok.


Kalau Anda rela tertawa, itulah berkah kesaktian dari teknik melawak yang disebut sebagai callback. Dalam teks artikel saya di atas ada kalimat yang berpotensi memancing tawa (saya harap), lalu dalam catatan ini hal tersebut saya munculkan kembali.

Dalam sitkom “Friends” yang dibintangi Jennifer Aniston sampai Lisa Kudrow (favorit saya yang memainkan Phoebe Buffay) garapan Marta Kauffman dan David Crane, teknik callback selalu saja muncul dan muncul kembali.


Wonogiri, 24 Mei 2005

No comments:

Post a Comment