Resensi Pentas Kembang Api, TPI, 22 Mei 2005
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
DRAKULA MENGEJAR BASUKI. Kemana pun Basuki lari ke pojok-pojok panggung, Drakula itu selalu mengejarnya. Kadang muncul suatu adegan saat Basuki justru meledek Drakula bersangkutan, yang dinilai terlalu lamban bergerak. Malam itu saya jadi saksi betapa panggung Anekaria Srimulat di Taman Ria Senayan, Jakarta, tahun 1980-an, riuh dengan gelak tawa.
Sebagai puncak uber-uberan Drakula vs Basuki berakhir ketika Basuki tak bisa menghindar. Ia terjatuh dengan gaya split, lalu menekuk kaki depannya, meniru adegan dalam pentas wayang orang untuk menyatakan takluk kepada fihak yang mengalahkannya. Gaya wayang orang dari Basuki ini meledakkan tawa. Khasanah gerak dari wayang orang yang secara tiba-tiba masuk dalam adegan pentas Srimulat, dan penonton pun memahaminya, itulah rumus mengapa ledakan tawa penonton segera riuh terjadi.
Tahu sama tahu. Pelawak tahu. Penonton pun tahu. Itulah rumus mati dari lawakan yang mengundang tawa. Sekali lagi saya tak bosan mengutip ucapan dari Gene Perret, kepala penulis lawakannya Bob Hope, yang menulis bahwa sense of humor menyangkut tiga keterampilan : (1) to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya, (2) to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya, dan (3) to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.
Sekadar contoh : awal Maret 2005, Erika Michiko, reporter yang cantik dari rumah produksi Shandika Widya Cinema bersama Sabar (kamerawan) dan Yanto (pengemudi) menyambangi rumah saya di Wonogiri. Mereka hendak mendokumentasikan kiprah saya sebagai seorang epistoholik, penulis surat-surat pembaca sejak tahun 1973, untuk tayangan Bussseeet di stasiun televisi swasta TV7. Hasil reportase itu telah ditayangkan 20/3/2005 dan 18/5/2005 yang lalu.
Setelah melewati tahap wawancara, lalu ditetapkan tema tayangan, syuting pun segera dimulai. Saat itu saya nyeletuk, “kini saatnya saya belajar bahasa visual”. Sabar dan Erika terdengar tertawa. Apa ada yang lucu, atau sengaja dibuat lucu, dari kalimat saya tadi ? Tidak ada, bukan ?
Urgensi dari kalimat “belajar bahasa visual” saya munculkan, karena saya faham bahwa memang terdapat perbedaan antara bahasa tulis dengan bahasa visual. Orang-orang media televisi pasti tahu. Erika dan Sabar juga tahu. Saya hanya melakukan callback sesuatu yang ia tahu. Tawa muncul dari formula tahu sama tahu itu.
Karena memang pemahaman tentang bahasa visual tersebut telah saya geluti dan saya ajarkan di tahun 1984. Saat itu saya menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Teknologi Media di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, Jakarta.
Dengan melontarkan sesuatu konsep yang saya yakin juga juga difahami oleh audiens “lawakan” saya saat itu, dalam hal ini Erika dan Sabar, maka dengan murah hati mereka pun menyambutnya dengan tawa. Tahu sama tahu, sekali lagi, itu kuncinya.
Contoh lain : pengamat politik Eep Saefuloh yang baru saja menikahi presenter televisi Sandrina Malakiano, dalam suatu seminar, telah mengaitkan dirinya dengan peristiwa pembongkaran tindak korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Eep cerita, mungkin karena dirinya dikira sebagai orang KPU atau ada orang KPU yang mirip dirinya, ketika mengisi bensin ada seseorang yang nyeletuk : “Pak Eep, mobil Anda ini hasil dari dana taktis KPU, ya ? Dan kemarin bisa umroh, juga berkat dana dari sumber yang sama ya?”. Tentu saja, semua peserta seminar itu terbahak. Tahu sama tahu.
TETAPI NGELANTUR TIDAK TAHU. Kelompok lawak Ngelantur asal Waru Sidoarjo ini, hemat saya, dalam penampilannya di Kembang Api, 22 Mei 2005, tidak memerhatikan rumus tahu sama tahu tersebut. Trio Heri Suryanto, Totok Pranadi dan M. Isa tersebut akhirnya gosong malam itu. Padahal adegan awalnya, dialog dua orang, berpakaian biasa, yang melucukan kelompok-kelompok lawak pesaingnya, cukup menggelitik.
Tetapi begitu muncul tokoh ketiga, memakai pakaian, gerak-gerik dan mengenakan mahkota raja, penonton dibuat terkacau. Tidak ada lagi kesatuan konteks dalam adegan yang terjadi. Tidak mudah bagi penonton untuk memahami bagaimana sosok dua orang yang berpakaian masa kini tiba-tiba harus berinteraksi dengan seorang “raja”. Raja dari mana ? Memang sang “raja” itu terlihat bloon, berkali-kali menanyakan siapa jati dirinya, tetapi konteks dan dialog yang terjadi antara ketiganya sudah tidak mempunyai fondasi kuat lagi untuk memancing penonton untuk tertawa.
Kecelakaan yang nyaris serupa dialami oleh kelompok SOS dari Bandung. Dengan mengambil seting Romeo dan Juliet, bahkan sampai Sule (Sutisna) mau-maunya berpakaian model putri raja, memancing kontroversi. Pencela Basuki bilang, sebaiknya memakai seting cerita dalam negeri saja. Kalau demi alasan tahu sama tahu, saran Basuki ini layak diperhatikan.
Sementara itu pencela lainnya, Mang Ibing yang sarjana muda Sastra Rusia, menganggap kisah Romeo dan Juliet karya pujangga Inggris William Shakespeare sebagai humanisme universal. Cerita itu, katanya, adalah sastra dunia dan sudah menjadi milik semua bangsa. Keduanya, boleh jadi benar.
Tetapi dalam pentas lawakan, rumus tahu sama tahu, malam itu telah diteledorkan oleh trio Suwarman (Oni), Obin Wahyudin (Ogi) dan Sutisna (Sule) ini. Bahkan ketika Sule di awal adegan menyanyikan lagu Yen Ing Tawang, berbahasa Jawa, kekacauan konteks makin terasa menjadi-jadi.
JIM CARREY DARI TANGERANG. Di MSFN Forum pernah diluncurkan diskusi mengenai siapa stand-up comedian atau pelawak solo, yang terbaik. Nama-nama yang muncul banyak sekali dan beragam. Ada nama George Carlin, yang oleh salah satu pengusulnya diimbuhi pendapat, “bila Anda tahu politik, George Carlin adalah yang terbaik”.
Bila Anda pernah baca teks monolognya, “You Are All Diseased” (tayang di HBO), dan dipentaskan di sini, ia pasti akan diuber-uber laskar tertentu karena lelucon Carlin itu menanyakan secara kritis apa peranan agama dan bahkan peran Tuhan.
Nama lain yang muncul adalah Robin “Nano-Nano” Williams. Ada Chris Rock yang baru saja memandu acara Oscar 2005. Juga muncul nama Jim Carrey, yang membintangi film-film Ace Ventura. Pendapat untuk Jim Carry yang mukanya fleksibel mirip plastik itu : Jim Carrey wasn't very good in standup. The guy is funny to watch but his act doesn't hold up well without the visuals.. Jim Carrey tidak terlalu bagus bila tampil sebagai komedian solo. Ia lucu untuk dilihat tetapi aksinya tidak prima bila tanpa dibantu (efek) visual. Jim Carrey lucu bila di film, karena ada fasilitas close-up yang mampu mengarahkan penonton kepada ulah atau mimiknya yang luar biasa plastis itu.
Keinginan untuk lucu model Jim Carrey rupanya bikin mabuk kelompok Limau untuk main api malam itu. Ali Zainal Abidin, Sumono dan M.Furqon yang hendak memparodikan film/sinetron “Ada Apa dengan Cinta ?”, adalah pilihan beresiko. Karena karakter dalam tokoh-tokoh film/sinetron tersebut, walau populer, belumlah begitu berurat berakar dalam benak penonton. Apalagi memasukkan atau memaksakan karakter Jim Carrey dalam diri Mamet-nya “Ada Apa dengan Cinta ?”, siapa yang bisa ngeh dengan transformasi aneh semacam ini ?
Tetapi kelompok ini sudah memiliki kata sakti, “Kata Ustad Sanusi”, yang mampu memancing tawa. Tetapi kalau terlalu sering diulang-ulang dalam set-up yang kurang terjaga, maka punchline seperti ini akan mudah kehilangan magisnya.
CERDASNYA KANG IBING. Dari angka-angka polling, kelompoknya R. Asep Saefuloh, Meilia Balipa Emil dan Isa Wahyu Prastantyo yang alumni Komunikasi Universitas Indonusa Esa Unggul tahun2004 ini, nampak unggul. Pembuka adegannya Bajaj, yaitu monolog dengan alat bantu asesori telepon seluler, menarik walau bukan hal baru.
Komedian Shelley Berman yang masuk kelompok legendary comedian seangkatan Rodney Dangerfield sampai George Burns (biografi komedian gaek satu ini, George Burns and The Hundred Year Dash, 1996, pantas dibaca oleh para komedian) pernah pula melakukannya.
Saya tak habis heran, mereka pun yang anak Jakarta kini tertular penyakit asal Yogyakarta. Main plesetan. Maka ketika melawakkan judul-judul film, dan mereka bilang banyak film Indonesia menggunakan judul “buah-buhanan”, muncul kemudian : Malam Tomat Kliwon.
Kang Ibing, menyebut lawakan kelompok Bajaj yang suka bermain-main kata atau (pun) itu sebagai lawakan intelektual. Bahkan pemunculan secara mak benduduk kata tomat dari judul film tadi ia sebut sebagai lawakan cerdas.
Bolehlah. Siapa saja memang berhak berkomentar seputar bermain-main kata, pun, dalam lawakan. Termasuk pula pencipta lagu Amerika, Ira Gershwin (1896–1983), yang berkata bahwa permainan kata-kata merupakan bentuk terendah dari humor, the lowest form of wit.
Saya sih setuju sama pendapat Eyang Ira ini.
Bagaimana dengan Anda ?
Wonogiri, 24 Mei 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
setuju juga...
ReplyDeletetapi gua ga suka judulna,masak bajaj kepeleset sih...
Ulasan yang bagus mas Bambang. Ironisnya, dengan segala celaan tersebut, tetap saja API 1 masih yang terbaik dibanding API 2, 3 dan seterusnya.
ReplyDeleteRasanya kebutuhan akan penulis humor memang sangat mendesak. Satu-satunya pemenang API 1 yang sepertinya masih eksis sebagai grup adalah Bajaj. Tapi kalau menilik penampilan mereka di panggung saat ini, mereka sangat kekurangan ide kreatif. Kisah tersukses mereka adalah di serial Para Pencari Tuhan, sebuah drama komedi dengan skenario yang cukup kuat.
http://jdk.blog.friendster.com/