Wonogiri, 15 Agustus 2006
Yth. Bung Effendi Gazali
Salam humor. Selamat untuk pemunculan kreasi acara komedi cerdas Anda di MetroTV semalam. Oh ya, saya sebelumnya telah mengutip pendapat Anda (“Dono dan Tolak Politisi Busuk”, Kompas, 30/12/2003) untuk menangkis pendapat Aming ExtraVaganza yang mengatakan penonton komedi kita belum cerdas, masih suka lelucon yang slapstick. Kutipan pendapat Anda itu telah saya pajang di blog saya, Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com).
Untuk ikut urun rembug demi memajukan acara Anda, saya berpendapat bahwa memparodikan Jusuf Kalla mengingatkan saya betapa wapres-wapres di AS, seperti Dan Quayle sampai Dick Cheney, merupakan objek empuk untuk jadi bulan-bulanan komedi.
Menurut saya, komunitas komedi Indonesia sungguh beruntung, karena wapres kita saat ini adalah Jusuf Kalla, pribadi unik yang secara natural merupakan sumber tak kering untuk kita jadikan bulan-bulanan lelucon cerdas. Ide JK yang membolehkan kawin kontrak para imigran Arab di Puncak, hingga diperoleh keturunan yang pantas untuk main sinetron, merupakan bahan lelucon yang kaya.
Masalahnya, tentu terpulang kepada kita sebagai kreator lelucon, mampu tidak untuk mengeksploitasi bahan-bahan mentah yang tersedia secara melimpah pada diri Pak JK itu ?
Usul saya, Bung Effendi, isu dominan dalam acara Anda itu sebaiknya yang terkait dengan sepak terjang Jusuf Kalla. Bukankah sosok Ucup Kelik merupakan tokoh jangkar, sentral, untuk memparodikan sosok JK ? Ucup Kelik Anda gagas sebagai “deformed mirror” dari Wapres kita yang hiperaktif itu, bukan ?
Seperti kata bertuah dari komedian Will Rogers bahwa dirinya tidak melucu tetapi hanya mewartakan apa-apa yang dikerjakan oleh pemerintah, maka menirukan ucapan JK saja sudah berpotensi mengguncang tawa.
Apalagi, kata Gene Perret, kepala penulis lawakan Bob Hope, semua lawakan itu harus memiliki kaitan dengan penonton (baca : rakyat Indonesia), maka ucapan apa pun dari Wapres JK, sebagai RI-2, pasti memenuhi kriteria untuk mampu mengundang kaitan dan sekaligus memicu tawa tersebut.
Bagaimana membangun kaitan tersebut ? Contoh : JK pernah berkata, setiap rumah yang rusak akibat gempa bumi di Yogya/Klaten akan diganti dengan uang sebesar 30 juta. Usul saya : hadirkan 1-2 penduduk korban gempa ke studio. Silakan mereka Anda interview seputar “janji sorga JK” itu. Saya yakin, apa pun jawaban polos para korban gempa itu akan mengundang tawa. Juga, ini tak kalah penting, penuturan mereka itu sekaligus menyampaikan pesan betapa implementasi sebuah kebijakan tak seperti yang mudah atau enteng ducapkan oleh pejabat publik !
Contoh lain : mengundang penduduk yang rumahnya terendam lumpur panas di Sidoarjo ke studio, sudah merupakan parodi tersendiri. Jauh lebih lucu dibanding menyebut Sidoarjo sebagai “Kuala Lumpur,” sampai mengundang mahasiswa-mahasiswa Makassar yang suka tawuran untuk mengetahui apa yang terjadi dalam mind mereka.
Mengundang para korban flu burung, tetapi tetap sensitif terhadap korban-korban yang meninggal dunia, karena sasaran tembak kita adalah pemerintah, pasti mampu menjadi sajian tontonan dan tuntunan (kata-kata a la Harmoko) yang menarik. Mengundang tokoh anonim, karena wajahnya tertutup sorban, yakni mereka-mereka yang ingin berjihad ke Lebanon, bisa menjadi bahan lelucon tersendiri.
Begitulah, asal-usul-usil saya.
Saya masih menyimpan gagasan lain, bagaimana audiens yang mahasiswa itu menjadi partisipan yang lebih aktif, tidak sekadar sebagai pihak yang tertawa dalam acara Anda itu. Idenya masih dalam taraf inkubasi.
Sukses untuk Anda.
Hormat saya,
Bambang Haryanto
+6281329306300
---------------------
BANGGA PUNYA MAFIA
Surat Pembaca – Harian Kompas Jawa Tengah
Dimuat : Sabtu, 8 Oktober 2005
Komedian AS terkenal Will Rogers (1879–1935) pernah bilang, dirinya tidak melucu tetapi hanya mewartakan apa-apa yang dikerjakan oleh pemerintah. Begitulah kiranya sebaiknya sikap kita dewasa ini. Daripada stres memikirkan kehidupan yang semakin sulit pasca kenaikan BBM dan segala produk dan jasa, lebih baik bersikap mirip Rogers tersebut tadi. Ramai-ramai, tidak memberontak, melainkan menertawakan pemerintah.
Salah satu amunisi untuk melucukan mereka adalah perkataan Ronald Reagan, bahwa di pemerintahan itu tidak ada orang-orang yang cerdas. Karena bila cerdas, mereka sudah disabet oleh fihak swasta. Pemerintahan kita saat ini tampak juga seperti itu. Mereka ibarat hanya memiliki sebuah palu sehingga semua masalah selalu cenderung dianggap sebagai paku. Pukul, pukul dan pukul.
Pemerintah tidak kreatif menggali sumber-sumber dana alternatif yang tidak membebani rakyat. Pemerintah hanya punya satu resep, naikkan harga dan nasib rakyat kebanyakan, silakan berserah diri saja pada Tuhan. Tidak aneh bila saat kenaikan harga elpiji yang lalu, tanpa memiliki seulas empati dengan enak seorang Menko Perekonomian bilang, “kalau tak mampu beli gas ya tak usah pakai gas”. Ucapan itu bisa diperluas : “kalau tak mampu beli beras atau minyak tanah ya tak usah makan pakai beras dan tak usah memakai minyak tanah !”
Kehidupan kita jelas makin sulit. Mungkin hari-hari ini kita terpaksa harus mau belajar dari rakyat bekas Uni Soviet saat diperintah rejim komunis yang represif dengan kehidupan perekonomian yang sulit dan morat-marit. Mereka mampu bertahan antara lain dengan humor, termasuk menghumori pemerintah dan pejabat-pejabatnya.
Salah satu lelucon paling lucu saat itu adalah ketika mereka, dalam kemelaratan dan ketertindasannya, tetapi tidak mau kalah gengsi atau kalah bersaing melawan negara seterunya saat itu, Amerika Serikat. Orang dari negeri Beruang Merah itu berkata dengan bangga : “Orang Amerika boleh bangga memiliki Mafia. Kami juga memilikinya. Namanya, prikaziwat. Pemerintah !”
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Situs Blog Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com).
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612
ke
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
ReplyDeletePutusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675