Wonogiri, 22 Agustus 2006
Yth. Bos Effendi Gazali,
Salam sejahtera. Seperti isi obrolan saya via SMS yang lalu, saya ingin memberikan usul-usil untuk tayangan Republik Mimpi kreasi Anda. BTW, Anda sudah atau belum, membaca email saya sebelumnya ?
Di situ saya katakan bahwa saya telah mengutip pendapat Anda (“Dono dan Tolak Politisi Busuk”, Kompas, 30/12/2003) untuk menangkis pendapat Aming ExtraVaganza yang mengatakan penonton komedi kita belum cerdas, masih suka lelucon yang slapstick.
Kutipan pendapat Anda itu telah saya pajang dalam artikel mengenai lawakan dan pendapat Aming ExtraVaganza di blog Komedikus Erektus ! ini pula.
Humor memang merupakan seni yang subyektif. Merujuk hal tersebut, maka kalau ramuan tayangan Republik Mimpi (RM) yang ada selama dua tayangan ini sudah Anda anggap baik dan OK, itu memang privilege Anda. Ijinkanlah saya ingin sedikit menambah dengan memberikan usul-usil berikut ini :
MEMILIH TOPIK YANG HOT DAN RELEVAN :
“All comedy must be relevant. People like Erma Bombeck and Bill Cosby are realistic. They talk about things we can relate,” itu rumus dari Gene Perret, kepala penulis lawakan untuk Bob Hope.
Dalam ajang Oscar, bertahun-tahun Bruce Villanch (penulis lawakan) dkk. harus mengamati ribuan adegan-adegan film Hollywood yang monumental, yang memorable, sepanjang tahun. Mereka kemudian menggubahnya, membelokkannya menjadi lelucon, lalu mengoleksikannya. Ketika menjelang malam penobatan Oscar, mereka tinggal mendiskusikannya bersama host acara, termasuk dengan Jon Stewart bersama timnya untuk Malam Oscar 2006 yang lalu.
Redaksi News.com/RM punya tugas serupa, yaitu memilih topik-topik berita tertentu seminggu terakhir dimana sebagian besar penonton mampu terkait dengan topik tayangan RM. Dalam dua tayangan RM, topik-topik news-nya, menurut saya, terlalu banyak. Mungkin karena topik-topik itu Anda pandang dapat dijadikan sebagai premis lawakan ?
Topik “tsunami” dan “Sumanto,” menurut saya juga sudah sangat “tipis” di benak masyarakat untuk dijadikan sebagai papan loncat atau premis lawakan. Dapat dikatakan sebagai kurang relevan lagi.
Topik kemarin yang rada hot sebenarnya adalah “how to lie with statistics” dalam pidatonya Presiden RI. Kalau presiden SBY mengungkapkan data bahwa angka kemiskinan berkurang, mengapa tidak dibelokkan secara humor, “karena penduduk miskin Indonesia memang berkurang. Sebab mereka itu MATI akibat kelaparan sebagai dampak kenaikan BBM, busung lapar, kena flu burung, kena tsunami dan bahkan gempa bumi.”
HUMOR/JOKE CRAFTING : FORMULA DELAPAN
Kalau satu-dua topik relevan itu sudah ditetapkan, maka ia bisa diaduk, diselami atau direntang kesana-kemari untuk bisa dijadikan bahan ledekan/lawakan dan parodi.
Saya kutipkan dari Wikipedia : “parody can occur when whole elements of one work are lifted out of their context and reused... and parody can also occur when characters or settings belonging to one work are used in a humorous or ironic way in another.” Parodi terjadi ketika seluruh elemen suatu karya dicerabut dari konteksnya dan digunakan kembali (dalam karya lain...)... dan parodi juga dapat hadir ketika tokoh-tokoh atau setting suatu karya digunakan secara humor atau secara ironi dalam karya-karya yang lainnya.
Parodi dalam Republik Mimpi (21/8/2006) kemarin, saat Butet melakukan adegan mimicking pidato SBY-RI, menurut saya kok tidak lucu. Beda kalau ia menirukan Soeharto. Mungkin karena sosok SBY-RI itu terlalu “santun” untuk dijadikan lelucon. Dirinya kurang “bergerigi” dibanding JK yang sering mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial.
Tetapi hal ini bisa ditambal bila tim RM memiliki skill dalam hal humor crafting yang standar, sehingga mampu membengkak-bengkokkan isi atau sambutan SBY/Butet itu sehingga menjadi lucu.
Tetapi upaya bengkak-bengkok model Ucup Kelik yang melulu berkutat seputar akronim, plesetan, dan apalagi asosiatif yang menjurus ke lelucon seks, menurut saya (seperti saya kirim via SMS lalu) tetap merupakan the lowest form of wit, bentuk atau kasta terendah humor.
Gene Perret bilang, “humor itu grafis.” Lelucon itu mampu memunculkan gambar di kepala atau benak pemirsa. Bila gambar itu lucu, mereka tertawa. Bila gambar lucu itu ternyata “dirinya,” mereka akan terbahak lebih keras lagi. Menurut saya, hukum dasar humor crafting yang satu ini belum banyak diketahui oleh para kreator lawakan di Indonesia.
Ronald Wolfe dalam Writing Comedy (1992) antara lain menyebut formula humor crafting itu meliputi : pembelokan hal normal (reversal), perbandingan, melebih-lebihkan, pemindahan (switching), pemindahan /pembelokan peran (role reversal), kejutan, kembali ke masa lalu dan melompat ke masa depan.
Dono Warkop pernah bilang, menulis lawakan itu setengah mati. Ia benar. Karena dia sepertinya belum pernah mempelajari teknik humor crafting yang baku. Kalau skill satu ini sudah ia kuasai, semua peristiwa yang TIDAK SERTA MERTA NAMPAK LUCU, dapat diubah menjadi lucu. Semua berita di media massa dapat menjadi berita lucu. Tetapi untuk memperoleh efek tawa yang paling monumental, dibutuhkan seleksi topik-topik tertentu yang paling terkait dengan mayoritas audiens.
Sekian dulu usul-usil saya. Semoga bermanfaat.
Sukses selalu untuk tayangan Republik Mimpi.
Hormat saya,
Bambang Haryanto
PS : Bung Effendi, saya punya teman baru (kenalnya via baca blog saya ini), Budianto Hamuddin yang kini sedang belajar di Fakultas Sastra dan Linguistik University Malaya, Kuala Lumpur. Dia sedang meneliti karakteristik lelucon/lawakan pelbagai etnis di Indonesia. Dia saya rujuk antara lain untuk mencoba mengontak Dr. James Danandjaja, ahli folklor di Jurusan Antropologi FISI-UI dan juga pada Anda. Bersediakah bung Effendi, bila mungkin menjadi nara sumber dia ? Terima kasih sebelumnya.
ke
.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment