Thursday, March 23, 2006

Berkarier Komedian Ibarat Bersekutu Dengan Setan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Music is your own experience,
your thoughts, your wisdom.
If you don't live it,
it won't come out of your horn.

Charlie Parker (1920–1955),
saksofonis jazz Amerika.



Lelucon Pesawat Terbang. Seorang Taufik Savalas rupanya tidak atau belum mengenal Orson Welles atau Judy Carter. Apalagi pendapat-pendapatnya. Kesan ini muncul ketika menonton siaran langsung sepakbola dan tidak sengaja menemukan acara Koki (Komedi Keliling) di stasiun televisi swasta TransTV, Minggu Sore (19/3/2006) yang lalu.

Orson Welles adalah bintang film dan sutradara terkenal Amerika Serikat. Dalam wawancara dengan koran The Times (6/5/1985) guna memperingati hari ulang tahunnya ke 70, ia telah menyatakan pendapatnya tentang emosi yang ada pada dirinya ketika menaiki pesawat terbang. Boredom and terror. Bosan dan teror, katanya.

Mungkin merujuk getar suara hati yang sama, instruktur lawak Amerika Serikat yang terkenal, Judy Carter, sampai berkesimpulan bahwa lawakan dengan objek pesawat terbang ia beri label sebagai hack. Lelucon picisan. Lelucon bermutu rendah.

Taufik mungkin tidak tahu tentang pendapat semacam itu. Karena dalam acara Koki tersebut Taufik justru menceritakan lelucon tentang jatuhnya sebuah pesawat terbang. Lelucon tentang aksi kentut ketika menjadi penumpang pesawat terbang dalam segmen lain acara Koki itu muncul dari celoteh pelawak Tukul Arwana, sementara Denny Chandra dan Anwar Fuady ikut pula memamerkan lelucon yang paling ia anggap lucu dari koleksi lelucon yang dihafalnya.

Bagi mereka yang sensitif dan tidak mudah lupa, lelucon jatuhnya pesawat terbangnya Taufik itu mudah mengingatkan kita terhadap blunder lelucon yang pernah ia lakukan terkait pasca Tragedi Bom Bali 1. Saat itu, dalam rangka mempromosikan kembali gairah pariwisata Bali yang terpuruk, Garuda Indonesia menawarkan tiket murah bagi wisatawan untuk terbang ke Bali.

Di televisi, Taufik Savalas malah melucukan kebijakan yang mulia ini. Ia seolah mengharapkan terjadinya bom-bom lagi meledak di Bali sehingga tiket terbang ke Bali akan bisa dijual dengan harga yang lebih murah lagi.

Taufik Savalas rupanya gemar melucukan peristiwa yang bagi orang lain adalah tragedi. Kepedihan. Apakah dirinya memang kurang begitu cerdas dalam memilih materi ? Kurang memiliki kepekaan nurani ? Atau bahkan tidak memiliki sensitivitas untuk berempati ?

Andalah yang bisa menilai.

Tetapi sore itu, dalam acara Koki, ia sejatinya berbuat dosa besar lain sebagai komedian. Taufik senyatanya hanya mengulang kembali lelucon tentang pesawat terbang jatuh yang pernah ia tampilkan dalam acara Comedy Club dua tahun yang lalu. Silakan Anda klik di sini, karena saya pernah mengulasnya di situs blog ini pula.


Komedian Wannabe Yang Patah Hati. Bagi saya, acara Koki tersebut rupanya dikemas dengan asumsi atau pemahaman bahwa komedi solo, di Barat dikenal dengan nama keren stand-up comedy, identik dengan aktivitas menceritakan lelucon hafalan di depan sekumpulan audiens.

Dalam Comedy Club, arena penceritaannya di sebuah kafe atau klub. Sementara dalam Koki, arenanya bisa terjadi di pinggir jalan, mal, atau tempat mahasiswa nongkrong di pojokan kampus mereka.

Asumsi yang sama juga pernah berakar dalam diri saya. Bahkan sejak mahasiswa. Ketika berkuliah di kampus Rawamangun, Universitas Indonesia, tahun 1980-an, saya sengaja menyisihkan sebagian honor menulis untuk membeli buku-buku kumpulan humor. Terbitan Amerika, Inggris dan juga India.

Ketika terpesona menonton Steve Martin memandu acara 73rd Annual Academy Awards 2001, saat itu pun saya masih beranggapan bahwa komedi solo adalah semata tampilan untuk menceritakan kisah-kisah lucu belaka.

Tahun 2001 akhir itu saya bekerja di Jakarta. Sebagai direktur komunikasi suatu perusahaan Internet. Akhir tahun, saya diberhentikan karena tidak terdapat kecocokan kimiawi, chemistry, dengan bos saya. Untuk menghibur hati yang lara terkena PHK, saya memutuskan mencari terapi : membeli buku-buku tentang komedi. Melalui bantuan toko buku QB World of Books, saya membeli buku-buku itu langsung dari Amerika Serikat.

Isi buku-buku itu ternyata malah tidak menghibur. Melainkan justru membuat saya semakin dirundung hati yang hancur. Bayangkan, asumsi dan bahkan paradigma saya tentang komedi yang sudah karatan, berurat dan berakar, harus diruntuhkan. Harus dihancurkan. Harus ditinggalkan. Semua itu gara-gara isi bukunya Judy Carter yang pesan moralnya tidak bosan untuk selalu saya ceritakan.

“We funny people are not normal”, tegas Judy Carter. Kita para jenakawan senyatanya bukanlah orang-orang yang normal. Orang-orang normal mengekspresikan selera humornya dengan menghafal lelucon-lelucon, sementara kita para jenakawan mentransformasikan seluruh pengalaman hidup kita menjadi lelucon, sekaligus menulis lelucon tentang hidup kita sendiri pula. Tambah Judy Carter, kalau sebagian besar orang cenderung menyembunyikan cacat dan cela dirinya, kita para jenakawan justru mempertontonkan semua cacat dan cela itu kepada dunia !


Ibu Saya Menembak Mati Pacarnya ! Bagi mereka yang menghargai kejujuran dan mau mendalami, aksioma Judy Carter di atas tak pelak menyodorkan realitas betapa dunia komedi senyatanya merupakan dunia yang menakutkan. Mengerikan. Comedy, be afraid. Be very afraid, tandasnya.

Sokurlah, demi upaya mengobati rasa sakit akibat hancurnya paradigma lama saya tentang komedi, justru itu yang mendorong saya untuk meluncurkan situs blog Komedikus Erektus ! ini pula. Saya berusaha mengobati kesakitan itu dengan melaluinya. Ikut berproses di dalamnya. Kemudian menuliskannya.

Dengan semakin menyelami biografi mereka-mereka yang terjun di dalamnya, dari George Burns, Richard Pryor, Rodney Dangerfield, Joan Rivers sampai Jon Stewart yang baru saja memandu acara Oscar 2006, semakin saya menaruh hormat atas kejujuran mereka sebagai manusia. Para jenakawan sejati itu memang senantiasa mampu menemukan humor dalam momen yang serius, juga tragedi hidupnya, dan bahkan dalam momen yang sakral sekali pun.

Sekadar contoh, adalah Christopher Titus. Ia komedian solo dan membintangi cerita seri televisi yang mentransformasikan problem kehidupannya dalam keluarga yang tidak normal menjadi bahan leluconnya. “Saya melucukan ibu saya yang menembak mati pacarnya. Saya juga melucukan ibu saya yang melakukan bunuh diri. Semua itu mampu membuat penonton tertawa.”

Chris Titus melawak dengan bahan yang benar-benar orisinal, yaitu segenap sisi-sisi hidupnya sendiri. Bahkan yang paling kelam sekali pun. Memanglah, komedian sejati memiliki totalitas ketika menerjuni dunianya. Mungkin dapat diibaratkan sebagai seseorang yang berupaya memperoleh kekayaan hingga dirinya berani bersekutu dan membuat perjanjian dengan setan.

Komedian sejati harus legawa menggadaikan sebagian nyawa atau kehidupannya dalam perjanjian itu. Komedian harus berani merelakan sisi kekurangannya sebagai manusia untuk dibedah, ditonjolkan dan dijajakan, semuanya itu untuk menjadi bahan tertawaan.

“Saya nikmati dikuyo-kuyo, seperti didorong atau kepala dipegang bahkan dikeplak. Itu pekerjaan saya dan saya tidak akan dendam. Kita harus profesional”, kata Saparbe (76) ketika tergolek di rumah sakit, menjelang akhir hidupnya seperti dikutip JawaPos (7/9/2001).

Saparbe itu lebih kita kenal sebagai Pak Bendhot Srimulat. Ia barangkali dapat menjadi contoh kecil suatu totalitas pengorbanan sebagai seorang komedian. Kita juga dapat bercermin dari seorang Charlie Parker, saksofonis jazz legendaris Amerika Serikat. Ia pernah bilang bahwa musik adalah pengalaman Anda pribadi, gagasan dan kebijakan Anda, yang bila tidak Anda geluti secara total di dalamnya, ia tidak akan mampu muncul melalui alat musik Anda.

Bagaimana pemahaman mengenai makna totalitas serupa dalam paradigma alam pikir penghuni dunia komedi kita ? Dalam acara Koki, sekadar ilustrasi lagi, kita hanya melihat kuatnya pemahaman bahwa berpentas komedi adalah semata menceritakan koleksi lelucon hafalan, kreasi orang lain sampai aksi-aksi mengejek orang lain. Memang, semua itu sudah mampu menimbulkan tawa. Juga sudah pula membuat pelakunya menjadi kaya raya.

Tetapi kita tahu, dengan meminjam istilah dari Covey, komedian semacam itu terancam seperti menaiki tangga yang bersandar pada tembok yang keliru. Semua ulah lucunya itu akhirnya seperti hanya menggores tipis di permukaan. Karena tidak pernah mampu membekaskan sosok terdalam dari jati dirinya sebagai manusia untuk menyentuh atau menggetarkan common chord, dawai-dawai hati nurani audiens mereka sebagai manusia.

Kiranya memang sudah terlalu lama, dengan bercermin dari sepak terjang bagaimana pelawak-pelawak Indonesia selama puluhan tahun berkreasi dan menjajakan diri, kita selalu seperti tidak pernah tahu siapa diri mereka yang sebenarnya.

Setiap kali kita kehilangan seseorang pelawak, catatan-catatan atau elegi untuknya seolah selalu kekurangan bahan untuk melukiskan dirinya sebagai persona, sosok pribadi dengan keunikan manusiawi yang mampu meninggalkan warisan keluhuran untuk bisa kita kenang lama sebagai manusia.

Mudah-mudahan saya salah adanya.



Wonogiri, 23 Maret 2006

Friday, March 03, 2006

Infojunkie, Jon Stewart dan Wawasan Intelektual Komedian Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Terorisme meningkatkan pariwisata. Anda pasti tidak percaya terhadap pernyataan ini, bukan ? Untuk memahami rumusan kontroversial ini, bayangkanlah diri Anda sebagai Dr. Azahari atau Noordin Mohd. Top. Kemudian bayangkan apa yang segera mereka kerjakan setelah terjadi peristiwa Bom Bali 1 dan Bom Bali 2 ?

Mereka pasti segera aktif melakukan kegiatan pariwisata. Rajin berpindah-pindah lokasi dengan mengunjungi banyak kota di Indonesia. Demi menghindari kejaran agen-agen Detasemen 88 yang hendak meringkus mereka !

Bagi saya, terus terang, pariwisata adalah dunia alien, dunia asing yang tidak terlalu akrab dengan diri saya. Ada salah seorang wanita terindah saya, Widhiana Laneza, berkiprah dalam dunia pariwisata. Menjadi eksekutif pemasaran di Hotel Tugu dan Exotic Spas di Bali. Tetapi hal itu baru saya ketahui ketika ia secara mendadak dan dalam momen menggetarkan, kembali menghadap Illahi, 20 Desember 2005 yang lalu.


Baiklah. Perjalanan pariwisata terakhir yang saya lakukan sudah berlangsung setahun lalu. Januari 2005. Yaitu ketika berperan sebagai seorang football flaneur, istilah eksotis dari kritikus dan penyair Perancis, Charles Baudelaire (1821–1867), yang berarti sebagai wisatawan sepakbola.

Saat itu dalam peran sebagai suporter sepakbola yang mendukung Tim Nasional Indonesia di Final Piala Tiger 2004/2005, saya bersama Mayor Haristanto yang pendiri Pasoepati Solo, ikut mendidih rasa nasionalisme kami ketika bergabung dengan sesama suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang, Singapura.

Esoknya, sambil menikmati kopi pagi di lobi Quality Hotel di bilangan Balestier Road, saya senyum-senyum membaca koran The Straits Times (17/1/2005). Karena nama saya dan pendapat saya tentang masa depan sepakbola Indonesia di bawah pelatih kepala Peter Withe, muncul di koran terpandang negaranya Lee Kuan Yew itu.

”The future is still bright.
Peter Withe is a good coach and motivator.
We can bounce back”

(Bambang Haryanto, Indonesia Fan).

Usai sarapan itu kemudian kami melakukan jalan-jalan wajib sebagai “turis melayu.” Tidak lain harus ke Orchard Road. Saya khusus mengunjungi tempat rekreasi paling favorit, yaitu jaringan toko buku kelas dunia : Borders dan Kinokuniya.

Sayang, judul-judul buku yang saya incar dengan subjek menarik yang pernah dikenalkan oleh Tika Bisono dan Mas Ito (Prof. Sarlito Wirawan Sarwono) kepada saya, yaitu knowledge management, tidak saya temui. Padahal toko buku ini benar-benar bikin ngiler karena mampu menampung puluhan ribu judul buku, mengingat luas ruangannya mendekati luas lapangan sepakbola.


Pak Yono Street University. Toko buku memang selalu menjadi tempat main favorit saya. Termasuk ketika belasan tahun memiliki kartu tanda penduduk sebagai warga Jakarta sejak tahun 1980. Semula main saya adalah ke Toko Buku Gramedia di Gajahmada.

Lalu ketika mereka buka di Blok M saya pun pindah ke sana. Di sini saya pernah ketemu dan bertukar lelucon dengan Gus Dur saat saya membeli buku kumpulan humor, 25/10/1986.

Pernah pula bertemu kembali, secara tak terduga, dengan Miduk, putri Solo jelita, berdarah biru, wanita terindah saya lainnya. Pertemuan yang kembali membuat saya patah hati. Matanya masih berkilauan, cinta lama masih berkobaran, tetapi ia kini sudah milik orang.

Ketika Toko Buku Gramedia buka gerai baru di Matraman, saya merasa beruntung. Tinggal saya di Rawamangun, membuat lokasi baru itu lebih dekat untuk dijangkau. Toko Buku Gramedia ini kadang agak terlambat dalam menyediakan buku-buku teknologi informasi terbaru, topik favoritku di tahun 90-an akhir. Saya lalu mencarinya di Times Bookshop, Indonesia Plaza. Judul-judul majalah luar negerinya di sini juga lebih banyak ragamnya.

Selain di toko-toko buku, untuk majalah-majalah luar negeri saya memiliki tempat belanja favorit lain yang juga asyik. Di lapaknya Pak Yono, Bang Japrak dan Mas Solikin, di depan Gedung PMI, Kramat Raya. Saya menyebutnya sebagai kampus baru, tempat kuliah baru. Universitas Jalanan Pak Yono.

Mereka mendapat pasokan majalah-majalah itu dari hotel. Majalah Time, Newsweek, Asiaweek, Far Eastern Economic Review, Business Week, Economist, sampai Fortune, kadang hanya berselang seminggu dari tanggal terbitnya sering sudah bisa terbeli di sini. Kalau di toko harga bandrolnya 6-10 ribu, di lapak ini seribu rupiah bisa mendapat 3-4 majalah.

Majalah Reader’s Digest berjibun. Harganya lebih murah dibanding majalah serupa yang terbit dalam negeri : Intisari. Belum lagi bila serasa mendapat durian runtuh, karena bisa menemukan majalah top seperti Wired sampai Harvard Business Review.


Ketika di Solo terjadi aksi sweeping untuk turis asing dan di Jakarta merebak demo anti Amerika, ternyata memunculkan dampak yang tidak saya duga. Pasokan majalah untuk universitasnya Pak Yono juga ikut macet. Dan saya ikut kesulitan mengakses informasi-informasi baru dari luar negeri pula.

Apalagi Internet saat itu masih hanya dimonopoli pemakaiannya oleh fihak militer AS. Tim Berners-Lee dan kawan-kawan belum meluncurkan teknologi web, karya saktinya ke masyarakat luas.

Begitulah, kalau ada kesempatan main ke Jakarta, selain mampir ke sofa empuknya QB World of Books, toko buku merangkap cafe itu di Jl. Sunda, belakang Sarinah itu, pasti saya menyempatkan bersilaturahmi ke kampus Pak Yono Street University dan koleganya di Kramat ini.

Apalagi pak Yono adalah orang Sragen yang merantau ke Jakarta sejak 1957. Mungkin bagi dia silaturahmi semacam ini bisa agak menggembirakan dirinya, berbau nostalgia, karena kami ngobrolnya memakai bahasa Jawa.


Host Oscar 2006. Kegetolan saya terhadap buku dan majalah itu mungkin dalam bahasa prokem mendapat julukan sebagai infojunkie. Pemabuk informasi. Pemulung informasi. Sebutan tersebut hari-hari ini bisa saya temukan kembali ketika saya membaca-baca di Internet tentang sosok Jon Stewart, komedian Amerika Serikat, yang terpilih untuk memandu acara Oscar 2006, Minggu (5/3/2006).

Deborah White menulis bahwa Jon Stewart adalah komedian politik. Ciri khas shownya membuat ia dijuluki sebagai ikon "the most trusted name in fake news.” Nama terpercaya untuk berita-berita boongan.

Ia berani, brilyan, humor politiknya tajam menggigit dalam menyuarakan rasa frustrasi rakyat Amerika. Terutama terhadap kebijakan salah langkah dan sikap munafik pemerintahan Bush, juga tingkah konyol politisi lainnya dan kebijakan yang mereka jatuhkan.

“Anda tahu, bila saya menghimpun sekeping receh setiap kali Bush menyebut peristiwa 11 September, maka saya dapat mengumpulkan uang cukup besar untuk hadiah memburu Osama Bin Laden.”

Ucapan pedas Jon Stewart itu dinilai kritikus dan kolektor humor terkenal Daniel Kurtzman sebagai satu di antara 25 Kutipan Lelucon Paling Lucu Tahun 2005.

Bush sudah menjadi rahasia umum di Amerika Serikat sebagai presiden yang kedodoran dalam bernalar dan berbahasa. Ketika aktor berotot asal Austria, bintang film Terminator, diangkat menjadi Gubernur California, maka keduanya pun segera menjadi bulan-bulanan lelucon Jon Stewart.

“Presiden Bush minggu lalu melucukan suasana pertemuannya dengan Schwarzenegger dengan menyebut bahwa mereka berdua sering salah ucap dalam berbahasa Inggris. Tuan Presiden, ingatlah, Schwarzenegger itu berasal dari negeri asing.”


Siapakah Jon Stewart ? Deborah White meneruskan bahwa Jon Stewart (aslinya : Jonathan Stuart Leibowitz), pembawa acara talkshow tersohor “The Daily Show” itu adalah warga New York, kelahiran Lawrenceville, New Jersey, 28 November 1962.

Dalam berhumor ia adalah komedian yang suka mengejek dirinya sendiri. Ayahnya adalah ahli fisika dan ibunya seorang guru, sehingga pendidikan dinilai tinggi dalam keluarga ini. Jon Stewart adalah pribadi privat, sangat jarang menceritakan kehidupannya kepada publik.

Ia menikah di tahun 2000 dengan Tracey McShane. Dikaruniai putra, Nathan (Juli 2004) dan anak perempuan, Maggie (Februari 2006). Jon dikenal workaholic, susah tidur, news junkie, pelahap berita, dan bekas perokok berat yang bisa berhenti pada tahun 2000. Untuk ukuran orang Barat, pria keturunan Yahudi ini boleh disebut pendek. Tingginya 170 cm.

Di SMA, gerak-geriknya yang suka humor sudah menunjukkan bakat yang menonjol. Ia meraih ranking ketiga ketika lulus dan terpilih sebagai siswa terbaik selera humornya. Ia kemudian berkuliah di College of William & Mary, Virginia, semula mengambil jurusan kimia, lalu pindah ke Psikologi.

Ia juga aktif menjadi anggota tim sepakbola kampusnya. Menurut Wikipedia, ia tercatat pernah membuat sepuluh gol dan 12 asis. Yang menarik, kependekan dari nama keluarga Yahudinya yang ia buang, “Leibo” kini di kampusnya menjadi nama anugerah tahunan bagi anggota tim sepakbola kampusnya yang menunjukkan kedewasaan dan mampu menghadirkan tawa untuk seluruh anggota timnya.

Jon Stewart bahkan pernah melatih sepakbola di SMA Gloucester di Virginia. Tahun 2006 ini ia memperoleh anugerah kehormatan All-America Award dari Asosiasi Pelatih Sepakbola Nasional Amerika Serikat.

Tahun 1986, ia mengadu nasib dan karier komedinya ke New York. Ia tampil di pelbagai sirkuit komedi di kota yang berjulukan Big Apple tersebut. Kariernya pun melambung.

Tahun 1999 ia tampil sebagai pembawa acara The Daily Show on Comedy Central menggantikan Craig Kilborn. Ia dibantu koresponden yang juga jenakawan seperti Stephen Colbert and Rob Corddry (baca artikel “Dick Cheney, Humor Politik, dan Posisi Tiarap Komedian Indonesia” di posting saya sebelumnya).

Tahun 2005, The Daily Show dan Jon Stewart mendapat anugerah 2 Emmy Awards. Juga anugerah sebagai Best Comedy Album Grammy Award untuk buku audionya yang berjudul America (The Book): A Citizen's Guide to Democracy Inaction. Buku ini masuk daftar buku laris koran The New York Times selama 46 minggu. Juga mendapat penghargaan Thurber Prize kategori Humor Amerika.

Tetapi Jon Stewart pernah pula mengalami peristiwa pahit, ketika menjadi pembawa acara Grammy Award 2001 di mana leluconnya mendapat cemoohan pengunjung. Dengan jujur ia menanggapinya dengan kearifan. “I feel your scorn and I accept it.”. Saya merasakan cemoohan Anda dan saya menerimanya. Kejadian itu justru membuat dirinya semakin tegar untuk meraih kedudukan sebagai komedian besar.


Apa keteladanan dirinya yang dapat dipetik oleh kalangan komedian di Indonesia ? Silakan Anda memberikan pendapat. Saya hanya ingin membuka-buka lagi isi majalah Reader’s Digest (3/1988), yang saya beli dari lapak majalah bekasnya Pak Yono di trotoir jalan bilangan Kramat, Jakarta. Artikel itu membahas seluk-beluk industri hiburan dan terkait dengan daftar artis-artis berpenghasilan tertinggi di Amerika Serikat saat itu pula.

Bill Cosby (57 juta dolar). Michael Jackson (31). Charles “Snoopy” Schulz (30). Eddie Murphy (27). Bruce Springsteen (27). Madonna (26). Whitney Houston (24). Steven Spielberg (23). Sylvester Stallone (21) dan Johnny Carson (20).

Saya kemudian terpana membaca penjelasan dalam bagian akhir artikel tersebut yang secara tegas menyatakan bahwa saat ini entertainment is intellectual property, just like computer software or patented pharmaceuticals. Hiburan merupakan karya cipta intelektual, seperti halnya peranti lunak komputer atau obat-obatan yang dilindungi hak paten.

Hiburan merupakan kiprah yang serius. Merupakan lahan kiprah intelektual. Kalau dalam daftar tadi nama komedian ternyata menduduki peringkat paling tinggi, semoga komunitas komedian Indonesia kini dapat terbuka cakrawala pemikirannya, mampu mencerna penjelasan tadi, dan kemudian bereaksi secara cerdas pula berusaha memenuhi tuntutan perubahan jaman yang terjadi.

Melawak itu mensyaratkan kecerdasan. Jon Stewart telah membuktikannya. Semoga saya tidak hanya bermimpi bahwa pelawak yang cerdas sungguh pula sangat dinanti kehadirannya di negeri ini. Semoga saya tidak sendirian dalam bermimpi !



Wonogiri, 4 Maret 2006.