Friday, September 23, 2005

Ketemu Iwel, Kehilangan Iwel, Adakah Masa Depan Bagi Komedi Solo di Indonesia ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Cek Dari Phyllis Diller. Gene Perret, penulis lawakan, pernah merasakan sensasi di bank ketika hendak mencairkan cek yang dikirimkan oleh kliennya, Phyllis Diller, komedian solo perempuan terkenal Amerika Serikat.

Perret saat itu berupaya tampil sesopan mungkin, rendah hati dan sesederhana mungkin ketika teller bank justru nampak terkaget menemukan nama Phyllis Diller dalam ceknya. Ia rada tergial, tersenyum kecil, lalu menyapa Perret :

“Phyllis Diller, huh ?”
Dengan suara dibuat rendah, Perret pun menjawab : “Ya”

Sejurus kemudian pegawai bank bersangkutan ribut. Memanggil teman-teman mereka, menunjukkan cek tersebut. Sementara Perret berusaha menahan diri agar egonya tidak kebablasan menggelembung hingga membuat kancing-kancing bajunya bisa copot karenanya !

Phyllis Diller memang sosok comedienne yang terkenal di Amerika Serikat. Komedian perempuan lainnya (“aku yakin, kelompok lawak perempuan di API 2 pasti tak tahu siapa-siapa si pemilik nama berikut ini” ) yang juga sohor antara lain Joan Rivers, Totie Fields, Judy Tenuta, Lily Tomlin, Cathy Ladman, Janeane Garofalo sampai Kathy Griffen. Gene Perret adalah penulis naskah lawakan yang juga terkenal. Pemanggungan komedian solo, juga sangat terkenal di Amerika Serikat.

Berbeda dengan pemanggungan lawakan di Indonesia yang lajim dilakukan secara keroyokan, seperti gaya Srimulat, di Amerika Serikat pelawak justru tampil secara solo. Mereka hanya tampil seorang diri di panggung. Mereka dikenal dengan sebutan stand-up comedian. Apakah komedian solo juga eksis dan berkembang di Indonesia ?


Pertama di Indonesia. Tahun lalu, saya memergoki berita di harian Kompas (25/2/2004) yang berjudul "Stand Up Comedy" di GKJ. Petikan berita tersebut :

Masyarakat pencinta seni pertunjukan di Jakarta akan disuguhi pertunjukan monolog "gaya baru", yang oleh penggagasnya disebut stand-up comedy. Bentuk pertunjukan yang diadaptasi dari Negeri Paman Sam ini menghadirkan komedian Iwel Well dari Cetho Art Company. Pentas yang disutradarai Ade Faizal dan mengusung lakon Rekonsiliasi karya Asep Sambodja itu akan digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Sabtu (6/3) pekan depan.

Menurut Asep Sambodja, Selasa kemarin, lakon Rekonsiliasi berangkat dari kondisi sosial politik Indonesia dalam kurung waktu setengah abad terakhir, serta peristiwa-peristiwa aktual di masyarakat. Kecemasan Bung Karno akan terjadinya eksploitasi di antara sesama anak bangsa ternyata dapat kita temui di sekitar kita saat ini. Dalam kondisi seperti ini, salah satu jalan untuk menyejukkannya adalah dengan membuka pintu maaf, tentu saja setelah melalui proses peradilan yang tidak korup.

"Pertunjukan model stand up comedy untuk menandai kehadiran Cetho Art Company sengaja dipilih karena ini merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Sesuatu yang kami adaptasi dari kebudayaan Barat, yang kami nilai bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan Indonesia, tanpa harus kehilangan cita rasa keindonesiaannya," kata Asep.


Menemukan Iwel. Saya senang membaca berita tersebut. Sejak menonton penampilan komedian solo dan bintang film Steve Martin saat memandu acara penerimaan Oscar (2001), saya memimpikan hadirnya pelawak semacam di Indonesia. Efek Steve Martin itu pula yang mendorong saya untuk mempelajari pelbagai informasi, baik artikel, buku dan sumber-sumber di Internet, mengenai komedian solo. Saya pun memesan buku-buku langsung dari Amerika Serikat.

Saya berharap pementasan Iwel dan kawan-kawan itu sukses. Lalu dibicarakan di koran-koran, menimbulkan gema, dampak, dan perubahan pada lanskap dunia komedi di Indonesia. Sebagai penikmat komedi, boleh dikatakan saya sudah neg dengan komedi-komedi yang bergentayangan di layar-layar televisi kita. Termasuk pula terhadap tayangan Comedy Club, komedi solo model acara pembacaan dongengnya Taufik Savalas yang gagal lestari di TransTV.

Tetapi rupanya harapan saya belum terwujud. Kiprah Iwel dkk tidak menimbulkan gema apa-apa. Sepanjang jangkauan pengamatan saya terhadap media massa cetak dan Internet, saya belum pernah menemukan berita atau pun resensi seputar pementasan Iwel dkk. tersebut. Dunia komedi solo kembali surut dan hilang lagi dalam percaturan media.

Untuk menyalurkan rasa jengkel saya terhadap situasi dunia komedi di Indonesia, secara sehat dan konstruktif, selain sebagai seorang epistoholik yang kecanduan menyalurkan aspirasi (termasuk mengkritik dunia lawak Indonesia) melalui kolom-kolom surat pembaca, saya tergerak meluncurkan situs blog ini sejak 2004. Sungguh suatu keajaiban, pada tanggal 26 Agustus 2005, saya memperoleh email kejutan. Ibarat bubu saya berhasil menangkap seekor ikan besar. Email itu berasal dari Iwel seperti di bawah ini :

"Halo mas, nggak sengaja saya terdampar di http://komedian.blogspot.com/ saya kaget dan terkagum-kagum dengan analisis serta referensi anda tentang komedi. Saya iwel, seorang stand up comedian, saat ini saya tampil rutin di acara Bincang Bintang di RCTI. Contoh penampilan saya bisa dilihat di http://www.cm-artist.com/.

Saat ini saya menjadi sekretaris pengurus daerah PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Jakarta) DKI Jakarta. Senang rasanya bisa mengenal orang seperti anda. Semoga Mas Bambang Haryanto bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dunia komedi tanah air. Thanks."

Kontak semacam ini tentu menggembirakan saya. Minimal saya berpeluang memperoleh teman berbincang dan berdiskusi. Apalagi setelah melongoki biodata Iwel yang termuat dalam situs CM Artist, biro manajemen dan agen artis di mana ia bernaung, menunjukkan dirinya memiliki prestasi dan bekal yang andal sebagai basis seorang komedian solo. Biro ini juga menaungi kiprah Ine Febriyanti (artis), Eskobar (musisi, rapper, duo percussion), Maylaffayza (violinist) dan Rudra (band).

Sayang, situs ini terlalu minimalis. Miskin informasinya. Ibarat Internet itu seluas Samudera Hindia, situs ini hanya sebuah kolam. Tidak pula membukakan interaksi antara fans dan artis-artis CM Artist secara massif. Kalau peluang itu terbuka, saya sebagai penikmat musik ingin menulis pengalaman ketika tampil satu panggung dengan pemain biola Maylaffayza yang jelita (nama lengkapnya : Maylaffayza Permata Fitri Wiguna) saat bersama-sama menyanyikan lagunya ABBA, “I Have A Dream”, di Ballroom Hotel Kempinsky, Jakarta, April 2002. Saya masih bermimpi, suatu saat saya pengin tampil bersama Fayza lagi.

Dalam situs tersebut, tercatat Iwel pernah juara lomba lawak RRI/TVRI tingkat Sumatera Barat pada 1989, pada tahun yang sama juga finalis lomba lawak RRI/TVRI tingkat nasional. Melakoni beragam profesi seperti menjadi penyiar radio, emce, bintang sinetron, rapper, sutradara sinetron komedi, dan kini menjadi TV Warm Up untuk acara Bincang Bintang (RCTI) dan sebagai host acara SMART Show di Global TV.

Kepandaian melucu yang ia pelajari secara langsung dari almarhum S. Bagio, Kasino, dan Ateng terus diasah. Saat ini Iwel masih melakukan distance learning pada dua instruktur sekaligus stand-up comedian kenamaan Amerika, Judy Carter dan Greg Dean.


Melupakan Wasiat Keramat Guru. Sebagai orang yang jarang menonton televisi, acara televisi di mana Iwel ikut (kata dia) berperan sebagai stand-up comedian, tentu menarik untuk dicoba ditonton. Saya baru menonton aksi Iwel dua kali, 2/9 dan 9/9 yang lalu.

Kalau boleh saya mengoreksi, penampilan Iwel sebagai pembuka acara Bincang Bintang itu bukan sebagai stand-up comedian, melainkan sebagai tv warm up. Iwel tampil dengan 6-12 topik lelucon untuk membuat penonton gembira dan bergairah menonton inti acara Bincang Bintang bersangkutan.

Inikah penampilan seorang stand-up comedian Indonesia yang mengaku telah berguru langsung dengan seorang Judy Carter ? Tahukah Iwel bahwa seorang Judy Carter suka wanti-wanti menuturkan wasiat penting untuk para komedian ? Ini dia bunyinya :

We funny people are a strange sort. Most people hide their defects ; we comics show them to the world. Kita para jenakawan adalah pribadi aneh. Kalau kebanyakan orang menyembunyikan cacat cela pribadinya, kita para komedian justru mempertontonkannya ke muka dunia.

Iwel, menurut saya, belum melaksanakan wasiat keramat guru jarak jauhnya itu. Ia masih seperti kebanyakan pelawak Indonesia, masih melanggar hukum lawakan seperti yang dikemukakan oleh Bert Williams : The man with the real sense of humor is the man who can put himself in the spectator’s place and laugh at his own misfortune.

Iwel nyatanya belum berani memperolok dirinya sendiri. Ia justru memperolok teman mainnya, Yadi (?), antara lain dengan lelucon seputar masturbasi di kamar mandi. Lelucon yang klise, hack, kata Judy Carter, dan tidak lucu. Menurut saya, lelucon mengenai seks yang banal hanya menunjukkan betapa seseorang komedian mengalami kekeringan imajinasi dan kreativitas. Beda jauh dari lelucon seksnya seorang Woody Allen atau Joan Rivers, yang sopan, berkelas dan berintelejensia.

Semua lelucon Iwel juga cenderung masih kekurangan daya dobrak, karena tidak ada attitude yang wanti-wanti ditekankan pentingnya oleh Judy Carter. Mungkinkah ia lupa bahwa attitude dasar lelucon itu ada empat : hard, scary, stupid dan weird ? Lelucon tanpa tulang punggung salah satu dari empat attitude tersebut ibarat sebuah mobil tanpa punya pedal gas !


Bunuh Diri Model Iwel. Judy Carter pernah pula berpesan bahwa the hardest part of performing is engaging the audience. Hal paling berat dalam pemanggungan (komedi) adalah upaya melibatkan penonton. Hal vital ini apa sudah pula disadari oleh seorang Iwel ?

Ketika saya menonton saat Iwel tampil (2/9), di mana sebagian besar audiensnya adalah mahasiswa Universitas Mercu Buana (?) yang berseragam jaket merah, saya bergumam : “gunungan bubuk dinamit yang ada di depan hidungnya itu kok tidak ia lempari saja dengan sebatang korek api yang menyala”. Hemat saya, Iwel masih perlu menajamkan pemahamannya tentang pentingnya tindakan meriset profil audiens sebelum berpentas.

Ketika Iwel mengajukan premis hasil penelitian siswa Yogya bahwa ada sekumpulan semut melakukan bunuh diri, ia telah menyodorkan lelucon yang beresiko bust, gagal menimbulkan tawa. Pertama, karena topik itu sangat esoterik. Tidak banyak orang kebanyakan yang tahu. Kalau audiens tidak tahu, topik secanggih dan selucu apa pun di benak Anda, bakal tidak bisa menghadirkan ledakan tawa. Apalagi kemudian punchline-nya tak kalah esoterik, ketika Iwel katakan bahwa semut-semut itu merupakan “anggota sekte tertentu”.

Oh, come on, Iwel. Kalau Anda ingin ngeceng untuk pamer pengetahuan umum, ikut saja acaranya Tantowi Yahya di Who Wants To Be A Millionaire itu. Tetapi untuk bahan lelucon, ingatlah bahwa audiens itu tidak bisa menangkap SEMUA (!) lelucon yang Anda anggap lucu di kepala Anda.

Ingatkah Anda bahwa sekte Heaven’s Gate pimpinan Marshall Herff Applewhite yang melakukan bunuh diri massal di Rancho Santa Fe itu peristiwanya terjadi di bulan April 1997 ? Sudah delapan tahun lalu, Iwel. Berpikirlah, apa ada di antara audiens Anda yang masih ingat peristiwa tersebut ?


Cek Dari Iwel. Untuk mendorong semangat Iwel, tanggal 3 September 2005, saya mengirimkan SMS kepadanya :

“Sy senang nonton Iwel di BCBT smalam. For first time. Mama Judy Carter psti bangga Anda. Populerkan STU-C bagi audiens TV kita, dan Iwel kini pionernya !”

Iwel pun berbaik hati membalas : “Thanks, tp saya harus belajar byk lg, tetap tonton ya mas...”

Saya senang membaca tekad Iwel yang ingin terus belajar tersebut. Tetapi permintaannya agar saya tetap menonton penampilannya, sorry Iwel, saya dengan berat hati dan berat mata tidak bisa lagi meluluskannya.

Sejak penampilannya tanggal 9 September 2005, saya merasa telah kehilangan Iwel. Dan saya tidak tahu apakah suatu saat kelak saya bisa menemukannya kembali. Tentu saja, dalam impian besar saya, saya ingin menemukan kembali seorang Iwel sebagai seorang stand-up comedian yang bener-beneran.

Dan kelak, hmmm, ijinkanlah saya terus berfantasi : sebagai seorang penulis lawakan saya bakal memperoleh cek dari Iwel, lalu saya sekuat tenaga berusaha menahan diri agar kepala saya tidaklah membesar saat para teller bank saling berbisik, matanya membelalak dan seru bergunjing antara mereka.

Tentu para teller bank itu bergunjing tentang nama Iwel yang sudah maha terkenal, nama saya, juga besaran angka yang tertulis dalam cek yang mereka proses pencairannya saat itu. Semoga saja Gene Perret akan iri kepada saya !



Wonogiri, 22-23/9/2005

No comments:

Post a Comment